Minggu, 09 November 2014

Ketika Jilbab Menjadi Kambing Hitam

Bismillahir-Rahmanir-Rahim ... 

“Aku paling gak suka liat cewe pake jilbab bermesra mesran sama pacarnya” ..

“Sama aku juga .. mending gak usah pake jilbab aja sekalian” ..
“Bener tuh ... daripada pake jilbab tapi kelakuan kayak gitu” ..

Sering sekali kita mendengar teman-teman kita mengucapkan kata-kata seperti itu .. terutama mereka yang belum mengenakan jilbab ...

Sungguh malang sekali nasib jilbab itu ..yang salah orangnya .. tapi jilbabnya pun ikut di hujat ...

Yang lebih miris lagi mereka mengatakan ..“mending gak usah pake jilbab daripada kelakuan buruk” ...

Sudah tidak memakai jilbab .. plus kelakuan buruk kok dibilang mending ..?? Itu artinya menurut mereka perbuatan tercela itu pantas untuk dilakukan asal tidak memakai jilbab ...

Bukankah perbuatan tercela itu tetap dosa dilakukan oleh manusia siapapun dia .. tak peduli dia kaya .. miskin .. laki laki .. perempuan .. memakai jilbab ataupun tidak .. besarnya dosa yang mereka lakukan pun sama .. hukuman yang mereka terimapun juga sama ...

Lantas bagaimana mereka bisa berkata seperti itu ..??

Manusia tak ada yang sempurna .. Begitupun semua perempuan yang memakai jilbab ... mereka juga hanyalah manusia biasa tempat khilaf dan lupa ...

Tak ada tuntutan jilbab itu hanya boleh dipakai oleh mereka yang telah sempurna akhlaknya ...

Bukankah sudah jelas bahwa jilbab wajib dikenakan semua perempuan islam yang sudah baligh seperti wajibnya shalat ..
tak perduli sifat seperti apa yang mereka miliki ... Tapi sungguh masih ada saja sebagian orang yang menganggap memakai jilbab itu hanya sunnah ....
Hai Nabi katakanlah kepada isteri-isterimu .. anak-anakmu yang perempuan dan isteri-isteri orang mu’min ... “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka ”... yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk di kenal .. karena itu mereka tidak diganggu .. .Dan Allah adalah Maha Pengampun Lagi Maha Penyayang (Al-Adzhab :59)..

 
Janganlah jilbabnya yang di hujat .. tapi ingatkanlah mereka ...
Nasehatilah mereka jika kita tahu perbuatan yang mereka lakukan itu salah ...

Dan tidak harus sempurna dulu atau harus memakai jilbab untuk bisa mengingatkan saudara kita yang salah ....

Namun alangkah baiknya jika kita berjilbab sehingga nasehat pun didengar oleh mereka ... Bukankah saling mengingatkan sesama saudara muslim itu mendapat pahala ..??

Jangan sampai iman pudar lalu hawa nafsu yang menang ...

Ketika itu yang terjadi .. maka cinta Allah yang agung tidak akan pernah bisa diindera, dirasa ... Cinta antar manusia pun hanya akan berbuah malapetaka ... Keinginan kita menuju surga dan ridha-Nya akan sirna ...

… Semoga tulisan ini dapat membuka pintu hati kita yang telah lama terkunci …

Sungguh Allah Akan Mengabulkan Do'a Hamba-Nya

Berikut ini adalah kisah nyata yang terjadi di Pakistan.

Seorang Dr Ahli Bedah terkenal (Dr. Ishan) tergesa-gesa menuju bandara . Beliau berencana akan menghadiri Seminar Dunia dalam bidang kedokteran, yang akan membahas penemuan terbesarnya di bidang kedokteran.

Setelah perjalanan pesawat sekitar 1 jam, tiba-tiba diumumkan bahwa pesawat mengalami gangguan dan harus mendarat di bandara terdekat.

Beliau mendatangi ruangan informasi dan berkata: "Saya ini dokter spesialis, setiap menit nyawa manusia bergantung kepada saya, dan sekarang kalian meminta saya menunggu pesawat diperbaiki dalam 16 jam?"

Pegawai menjawab: "Wahai dokter, jika anda terburu-buru anda bisa menyewa mobil, tujuan anda tidak jauh lagi dari sini, kira-kira dengan mobil 3 jam perjalanan lamanya."

Dr. Ishan setuju dengan usul pegawai tersebut dan menyewa mobil. Baru berjalan 5 menit, tiba-tiba cuaca mendung, disusul dengan hujan besar disertai petir yang mengakibatkan jarak pandang sangat pendek.

Setelah berlalu hampir 2 jam, mereka tersadar mereka tersesat dan terasa kelelahan. Terlihat sebuah rumah kecil tidak jauh dari hadapannya, dihampirilah rumah tersebut dan mengetuk pintunya. Terdengar suara seorang wanita tua: Silahkan masuk, siapa ya? Terbukalah pintunya.

Dia masuk dan meminta kepada ibu tersebut untuk istirahat duduk dan mau meminjam telponnya. Ibu itu tersenyum dan berkata: "Telpon apa Nak? Apa anda tidak sadar ada dimana? Disini tidak ada listrik, apalagi telepon. Namun demikian, masuklah silahkan duduk saja dulu istirahat, sebentar saya buatkan teh dan sedikit makanan utk menyegarkan dan mengembalikan kekuatan anda."

Dr. Ishan mengucapkan terima kasih kepada ibu itu, lalu memakan hidangan. Sementara ibu itu sholat dan berdoa serta perlahan-lahan mendekati seorang anak kecil yang terbaring tak bergerak diatas kasur disisi ibu tersebut, dan dia terlihat gelisah diantara tiap sholat. Ibu tersebut melanjutkan sholatnya dengan do’a yang panjang.

Dokter mendatanginya dan berkata: "Demi Allah, anda telah membuat saya kagum dengan keramahan anda dan kemuliaan akhlak anda, semoga Allah menjawab do’a-do’a anda."

Berkata ibu itu: "Nak, anda ini adalah ibnu sabil yang sudah diwasiatkan Allah untuk dibantu. Sedangkan do’a-do’a saya sudah dijawab Allah semuanya, kecuali satu."

Bertanya Dr. Ishan: "Apa itu do’anya?"

Ibu itu berkata: "Anak ini adalah cucu saya, dia yatim piatu. Dia menderita sakit yang tidak bisa disembuhkan oleh dokter-dokter yang ada disini. Mereka berkata kepada saya ada seorang dokter ahli bedah yang akan mampu menyembuhkannya; katanya namanya Dr. Ishan, akan tetapi dia tinggal jauh dari sini, yang tidak memungkinkan saya membawa anak ini ke sana, dan saya khawatir terjadi apa-apa di jalan. Makanya saya berdo’a kepada Allah agar memudahkannya."

Menangislah Dr. Ishan dan berkata sambil terisak: "Allahu Akbar, Laa haula wala quwwata illa billah. Demi Allah, sungguh do’a ibu telah membuat pesawat rusak dan harus diperbaiki lama serta membuat hujan petir dan menyesatkan kami, Hanya untuk mengantarkan saya ke ibu secara cepat dan tepat. Saya lah Dr. Ishan Bu, sungguh Allah subhanahu wa ta’ala telah menciptakan sebab seperti ini kepada hamba-Nya yang mukmin dengan do’a. Ini adalah perintah Allah kepada saya untuk mengobati anak ini."

Kesimpulan: Jangan pernah berhenti berdo’a sampai Allah menjawabnya.

Sabtu, 08 November 2014

Kenikmatan Semu yang Melalaikan

Kawan, dunia ini memang melenakan, banyak keindahan dan kenikmatan serta kesenangan yang ditawarkannya. Dunia menggoda siapa saja yang berada di dalamnya. Tak ayal, banyak dari kita yang terjerembab dalam kesenangan semu yang ditawarkan oleh dunia. Ketahuilah kawan, dunia ini ibarat air laut, semakin kau minum, maka akan semakin haus. Ya, semakin kita mengejar dunia, maka kita akan semakin terperdaya olehnya.

Kawan, apa yang hendak kita kejar di kehidupan yang singkat ini? Apakah harta? Lihatlah Qarun, manusia yang paling kaya pada masanya, namun akhirnya dia terhinakan oleh kekayaannya sendiri. Ataukah jabatan? Ingatkah kalian dengan Fir’aun? Dia adalah manusia yang paling angkuh di dunia dan melampaui batas. Fir’aun adalah raja tersohor, bahkan dia tak segan mengakui dirinya sebagai tuhan yang berhak menetapkan hukum sesuai dengan kehendaknya. Namun kita sudah sama-sama mengetahui akhir kisahnya, bahwa Fir’aun pada akhirnya pun mati dalam keadaaan hina dan dihinakan dengan kekuasaannya. Lantas, apa yang kita kejar selama hidup di dunia ini?

Miris betul, ketika media mengabarkan para pejabat negara yang korupsi hanya untuk memenuhi kantong dan isi perutnya sendiri, tanpa dia perhatikan kondisi rakyatnya yang menjerit kelaparan. Sedih sekali, melihat kelakuan para elit politik yang saling berebut kekuasaan yang pada akhirnya banyak mereka salah gunakan. Belum lagi masyarakat yang lainnya, menghabiskan waktu hanya untuk bersenang-senang dengan dunia. Dia tinggalkan seruan kebaikan, dan beralih pada seruan kemaksiatan.

Apa yang kita kejar di dunia ini? Kelak semua yang ada di dunia ini perlahan-lahan akan meninggalkan kita. Paras yang cantik rupawan, kelak akan menampakkan garis-garis kerutan yang menandai usia kita semakin senja. Harta yang selama ini kita kumpulkan, tidak dapat memberikan jaminan ketenangan. Jabatan dunia, yang sedari dulu kita rebutkan, kelak akan menjadi amal yang memberatkan timbangan keburukan.

Ingatlah kawan, hidup kita tak hanya sekedar di dunia ini. Dunia yang penuh dengan berbagai macam kesenangan, kegemerlapan, tapi pada akhirnya dia pun meninggalkan kita. Ada alam lain yang sedari dulu menanti kita, yakni alam akhirat. Disanalah kita akan kekal selamanya, disanalah kehidupan kita yang sebenarnya. Apa yang kita kejar selama hidup ini, kelak akan kita tuai hasilnya di akhirat sana. Bila kita mengejar kenikmatan dunia saja, tanpa menghiraukau akhirat, kelak kita akan mendapatkan balasannya. Sebaliknya, bila kita mengejar akhirat, dan menjadikan dunia sebagai tempat bercocok tanam kebaikan, insya Allah kelak kita pun akan memanen kebaikan dan ditempatkan di tempat yang baik di akhirat sana.

Apa yang kita kejar selama hidup ini? Satu-persatu akan meninggalkan kita hingga tak ada lagi yang tersisa, kecuali amal yang kita kerjakan semasa kita hidup di dunia. Sadarilah, semua ini hanya sementara. Kelak, segala bentuk kenikmatan, keindahan, kemewahan, ataupun kesenangan  Dunia yang kita kejar selama ini, akan berakhir dan pergi meninggalkan kita.


Semoga, kita semakin menyadari akan arti hidup ini, bahwa kehidupan ini bukan hanya untuk mengejar perhiasan Dunia yang semu, melainkan untuk meraih ke ridhaan Ilahi, agar kelak kita dimasukkan kedalam surga yang abadi. Aamiinn, allahumma aamiinn

Sampai Kapan Terus Menunggu

Andaikan kalian sanggup berkomitmen untuk begini dan begitu, tentu akan saya dukung. Tapi sejauh ini, saya masih melihat banyak kekurangan dari diri kalian. Sesungguhnya kita tidak mungkin membersihkan lantai yang kotor dengan kain pel yang kotor!”

Kalimat semacam di atas, dalam berbagai varian bentuknya, seringkali terdengar. Hemat saya, terutama ungkapan yang terakhir, memang dapat ditemukan konteksnya dalam banyak kasus, namun tidak untuk semua kasus. Memang benar, kain pel yang akan digunakan untuk membersihkan lantai tidak boleh kotor. Tapi sebersih apakah ‘tidak kotor’ itu sebenarnya?

Khalid ibn Walid r.a bisa dibilang “bukan siapa-siapa” ketika situasi memaksanya untuk menjadi pemimpin pasukan Muslim di Perang Mu’tah. Rasulullah s.a.w telah menyerahkan bendera pasukan kepada Zaid ibn Haritsah r.a, dan berwasiat agar memberikannya kepada Ja’far ibn Abu Thalib r.a jika Zaid r.a gugur, kemudian berwasiat lagi agar memberikannya kepada ‘Abdullah ibn Rawahah r.a jika Ja’far r.a gugur. Allah s.w.t berkehendak ketiga panglima nan gagah ini menjadi syuhada. Saat itulah kaum Muslimin berembuk dan mengangkat Khalid ibn Walid r.a – yang belum lama masuk Islam – untuk menjadi pemimpin mereka. Khalid r.a, yang di Perang Uhud mengayunkan pedangnya untuk menghabisi kaum Muslimin, kini menjadi Syaifullaah (Pedang Allah) yang akhirnya mampu membawa pasukan Muslim meraih kemenangan.

Dalam pasukan yang dikirim ke Perang Mu’tah itu, tidak tertutup kemungkinan ada yang jauh lebih senior, jauh lebih bagus ibadahnya, dan jauh lebih baik akhlaq-nya daripada Khalid r.a. Apalagi, sebelum memeluk Islam, Khalid r.a bertahun-tahun mendapat pendidikan dari sang ayah, Walid bin al-Mughirah, yang sangat memusuhi Islam. Akan tetapi, Khalid r.a adalah orang yang sangat pas untuk memimpin pasukan Muslim, baik di Perang Mu’tah ataupun di perang-perang sesudahnya.

Jika kita ingin mencari ‘kain pel’ yang putih bersih tanpa noda sama sekali, tentu kita akan berpaling kepada orang-orang yang sudah lama memeluk Islam, atau yang telah bersama Rasulullah s.a.w sejak dahulu, misalnya Abu Bakar r.a. Akan tetapi, jika yang dibutuhkan adalah seorang panglima, maka Khalid r.a nyaris tak punya pesaing.

Tentu saja kita tidak hendak mengatakan bahwa ‘kain pel’ yang bersih itu tidak penting. Hanya saja, dalam banyak kasus, kita tidak perlu menunggu kedatangan kain pel yang bersih mengkilat sebersih kain pel di toko sebelum akhirnya benar-benar membersihkan lantai. Tidak semua kondisi ideal dapat tercapai. Bahkan seringnya, jika kita menunggu-nunggu kondisi ideal terjadi, maka kita tidak akan beranjak dari tempat kita berada sekarang. Orang-orang tua zaman dahulu sudah mengajarkan sebuah kebijaksanaan: “tak ada rotan, akar pun jadi.”

Di tengah-tengah generasi Muslim akhir zaman ini, ke manakah akan kita cari seorang Abu Bakar r.a atau seorang ‘Umar ibn al-Khaththab r.a? Dimanakah akan kita temukan sang pemimpin yang bersih tiada cela, yang kuat ibadahnya, terpuji akhlaqnya dan cemerlang akalnya, sehingga kita tak bisa menyebutkan barang satu saja keburukannya?

Betapa banyak orang yang merasa dirinya terlalu suci untuk bergabung dengan yang lain. Ia dapat menghitung secara terperinci sekian ratus kesalahan mereka. Shalatnya salah disini dan disitu, caranya mendidik anak kurang begini dan begitu, kesehariannya masih kurang yang ini dan itu. Ia merasa tak punya harapan jika harus bergabung dengan orang-orang yang dianggapnya tak membuatnya lebih baik. Ia lupa bahwa – andaikan benar – tak ada orang yang bisa membawa kebaikan pada dirinya, maka ia sendirilah yang berkewajiban membawa kebaikan itu pada orang-orang di sekitarnya.

Betapa banyak orang yang bagus ibadahnya namun menyimpan semua kebaikan untuk dirinya sendiri. Ia membenci si pelaku dosa sebagaimana ia membenci dosa itu. Ia selalu sendiri, karena di sekelilingnya hanya ada para pembuat dosa, dan ia khawatir ia pun akan melakukan dosa yang sama jika bergaul bersama mereka. Ia hibur dirinya sendiri dengan kata-kata Rasulullah s.a.w yang mengisyaratkan bahwa kelak orang-orang yang memegang teguh agama ini akan menjadi ‘asing’. Ia lupa sama sekali bahwa setiap kamus bahasa Indonesia selalu membedakan makna “orang asing” dengan “orang yang mengasingkan diri”.

Pada akhirnya, ia menghibur dirinya sendiri dengan menolak semua tuduhan bahwa ia telah memelihara penyakit ukhuwwah dalam dirinya sendiri. Muncullah kalimat seperti di atas tadi, yang menegaskan bahwa ia siap bergabung kapan saja dan berkomitmen penuh, asalkan yang hadir di hadapannya adalah kelompok yang serba sempurna dan tak pernah salah.

Janganlah heran sekiranya orang semacam ini pada akhirnya selalu berjalan sendiri. Kalaupun ia menemukan teman-teman yang segagasan dengannya, mereka hanya akan berkumpul (atau lebih tepatnya bergerombol) dan tidak jalan kemana-mana. Mereka hanyalah sekumpulan orang malang yang diam sambil menunggu kendaraan yang tak kunjung lewat, sambil mengutuki zaman yang terus berganti.

Manusia, sebagaimana yang telah kita maklumi bersama, bukan hanya tak ada yang sempurna, namun juga tak bisa menyempurnakan dirinya sendiri. Setiap anak dibesarkan bukan atas usaha dirinya sendiri, bukan pula hanya oleh kerja keras kedua orang tuanya, melainkan juga oleh lingkungan di sekitarnya. Oleh karena itu duhai tuan-tuan, pahamilah bahwa masyarakat yang sakit parah selamanya takkan melahirkan pemimpin yang baik. Bolehlah berikan pengecualian kepada para Nabi, karena mereka dibimbing langsung oleh Allah. Tapi di luar itu, berlaku hukum yang sama.

Maka, duhai tuan-tuan yang suci, janganlah bermimpi akan berjumpa dengan pemimpin besar nan adil jika masyarakatnya masih jauh dari nilai-nilai kebaikan. Jika para guru dan orang tua masih ridha siswa-siswi menyontek asalkan lulus UN (Ujian Nasional), maka janganlah menolak takdir jika kelak mereka makan uang haram hasil korupsi. Jika orang tua masih susah mematuhi rambu lalu lintas atau menerobos lampu merah, janganlah terlalu kecewa sekiranya sang anak cepat belajar dan melanggar segala aturan dengan mudah di usia remaja. Dan tentu saja, jika engkau, tuan-tuan yang suci ini, tidak pernah membimbing umat untuk menyucikan diri dan perbuatannya, maka jangan memasang impian terlalu tinggi agar kelak suatu hari negeri ini makmur sejahtera dan dilimpahi rahmat Allah s.w.t dari segala penjurunya.

Orang-orang beriman tidak mengenal putus asa selama mereka masih merasakan kebersamaan dengan Allah s.w.t. Kita tidak berputus asa dengan negeri ini, sebagaimana kita tidak berputus asa dengan perkumpulan atau organisasi apa pun yang kita bentuk untuk membangun negeri. Jika ada kekurangan, maka itulah kenyataan, sebagaimana kenyataan yang biasa kita hadapi di tengah-tengah generasi Muslim akhir zaman ini. Kita telah berdamai dengan kenyataan bahwa keadaan negeri ini masih jauh dari ideal, dan kita berusaha menyelamatkannya dengan berbagai cara. Oleh karena itu, kita berdamai pula dengan kenyataan bahwa orang-orang yang memiliki komitmen sama dengan kita pun masih jauh dari ideal, namun kita menghargai tekadnya untuk terus memperbaiki diri dan mensyukuri kenyataan bahwa masih ada sekelompok orang yang mau menerima kita dengan segala kekurangan kita.

Berhentilah menunggu. Kemenangan yang sesungguhnya takkan hadir di depan mata dan tak bisa kau beli begitu saja. Kemenangan itu ada di depan sana, menunggu orang-orang yang siap untuk jatuh-bangun dalam memperjuangkannya.

Huru-hara Hari kiamat

ORANG yang merenungkan nas-nas al-Qur’an dan sunah yang menceritakan suasana hari kiamat akan mengetahui ketakutan dan bencana besar yang menimpa orang-orang kafir pendosa pada hari yang besar itu.

1. Allah SWT menjelaskan keadaan orang-orang kafir ketika keluar dari kubur, dengan firman-Nya, “(Yaitu) hari mereka keluar dari kubur dengan segera bagaikan berlari menuju patung (atau tujuan), dengan pandangan menunduk. Mereka ditimpa kehinaan. Itulah hari yang telah dijanjikan kepada mereka,” (QS. AL-Ma’arij: 43-44).

Teks ayat tersebut menggambarkan cepatnya orang-orang kafir keluar dari kubur pada hari itu menuju sumber suara, seakan-akan mereka berlari menuju berhala-berhala yang dahulu mereka sembah di dunia. Tetapi, pada hari ini, mereka tidak berangkat dengan gembira, suka ria dan sombong sebagaimana dulu ketika mereka menuju berhala, melainkan dengan terhina, dengan pandangan yang tertunduk.

2. Allah SWT berfirman, “Maka tinggalkanlah mereka. (Ingatlah) hari di mana penyeru menyerukan sesuatu yang tidak disukai. Orang-orang kafir itu keluar dari kubur dengan pandangan menunduk, bagaikan belalang yang berterbangan. Dengan cepat mereka datang ke arah penyeru. Orang-orang kafi itu berkata, ‘Ini hari yang sulit’,” (QS. al-Qmar: 6-8).

Ayat ini mengatakan apa yang dinyatakan ayat sebelumnya, yaitu keluarnya orang-orang kafir dalam keadaan menundukkan pandangan, hina, dan bersegera menuju sumber suara yang menyeru dan memanggil mereka. Selain itu, ayat ini juga memberikan penjelasan tambahan berupa gambaran hidup tentang situasi kebangkitan, yaitu keadaan mereka ketika bergerak dan keluar dengan cepat seperti keadaan belalang yang berterbangan. Ayat ini juga menginformasikan pengakuan orang-orang kafir pada hari itu akan sulitnya situasi mereka, “Orang-orang kafir itu berkata, ‘Ini hari yang sulit’.”

3. Nas ketiga ini memberitahukan bahwa orang-orang kafir, ketika sangkakala ditiup, meratapi kemalangan mereka seraya bertanya satu sama lain tentang siapa yang telah membangunkan mereka dari tidur mereka, “Dan sangkakala ditiup, lantas mereka keluar dari kubur menghadap Tuhan mereka. Mereka berkata, ‘Alangkah malangnya kami! Siapakah yang telah membangunkan kami dari tidur kami?’” (QS. al-Qamar: 8).

Abu Muhkam al-Jisri, sorang bijak, pernah didatangi saudara-saudara seimannya. Ketika ayat tersebut dibacakan, ia menangis kemudian berkata: “Kengerian di hari kiamat sungguh menghilangkan kesadaran akal. Demi Allah, jika orang-orang kafir benar-benar tidur seperti perkataan mereka, mereka sungguh tidak akan meratap begitu bangun. Mereka bukannya lepas dari situasi sulit atau masalah, melainkan mereka menghadapi bahaya besar: bencana kiamat, dan itu mereka lihat dengan mata kepala mereka sendiri.

Mereka sebelumnya telah lama tinggal di alam barzakh dalam keadaan sakit dan disiksa. Mereka bukanlah meratapi lepasnya mereka dari siksa kubur, tetapi meratapi beralihnya mereka ke malapetaka yang jauh lebih besar. Karena begitu dahsyatnya bencana kiamat, mereka menganggap kecil apa yang telah mereka alami di alam kubur sampai-sampai menyebutnya hanya tidur. Dalam al-Qur’an ada dalil yang menujukkan itu, “Apabila melapetaka yang amat (lebih) besar telah datang,” (QS. an-Nazi’at: 34).” Kemudian al-Jisri menangis lagi sampai jenggotnya basah.

4. Nas yang lain menginformasikan penampilan luar lainnya dari orang-orang kafir ketika bangkit, yaitu bahwa mata mereka, karena kengerian yang begitu besar, terbelalak melotot; jiwa mereka kosong dari apa pun selain kengerian yang mencekam itu. Allah SWT berfirman, “Dan janganlah engkau kira Allah itu lupa akan perbuatan orang-orang lalim! Allah hanya menangguhkan mereka sampai hari di mana mata terbelalak. Mereka menghadap dengan cepat, mengangkat kepala dengan mata tidak berkedip dan hati mereka hampa,” (QS. Ibrahim: 42-43).

Sayyid Quthb –semoga Allah merahmati dan melimpahinya pahala- dalam menafsirkan ayat ini, mengatakan: “Rasulullah SAW tidak mengira bahwa Allah lupa akan perbuatan orang-orang lalim. Tetapi, perkiraan atau persangkaan demikian muncul pada sebagian orang yang melihat orang-orang lalim hidup dalam kenikmatan; mereka mendengar ancaman Allah, tapi tidak melihat ancaman itu terwujud pada orang lalim itu di kehidupan dunia. Teks ini mengungkapkan bahwa penghukuman mereka ditunda sampai hari akhir, yang tidak ada lagi penundaan setelahnya dan tidak ada pembebasan darinya. Allah menyiksa mereka pada hari yang sulit, di mana mata terbelalak karena takut, tercengang, terperanjat, tercekam, tidak berkedip, dan tidak bergerak.”

Kemudian Allah menggambarkan keadaan kaum kafir itu di tengah-tengah kengerian mereka bergerak dengan cepat, tanpa mempedulikan dan memperhatikan apa pun. Mereka mengangkat kepala, bukan karena keinginan sendiri, melainkan karena terpaksa; mereka tidak mampu mengendalikan gerakan kepala mereka. Mata mereka manatap kengerian yang tampak dengan tidak berkedip. Saking takutnya sehingga hati mereka menjadi kosong, tidak menyimpan suatu memori pun yang dapat dikenang atau diingat. Itulah hari yang sampai hari itulah Allah menangguhkan (penghukuman) mereka. Hari itu mereka menderita ketakutan, yang mengacaukan pikiran mereka dan membuat mereka seperti burung kecil dalam cengkeraman elang yang menakutkan, sebagaimana tergambar dalam ayat ini:

Allah hanya menangguhkan mereka sampai hari di mana mata terbelalak. Mereka bergerak dengan cepat, mengangkat kepala dengan mata tidak berkedip da hati mereka hampa,” (QS. Ibrahim: 42-43).

Pergerakan yang sangat cepat dalam kondisi terpaku dan terpaksa serta hati yang takut dan kosong dari segala kesadaran dan kecakapan, ditambah lagi dengan kengerian yang mebelalakkan mata.

5. Al-Qur’an menggambarkan rasa takut yang melanda jiwa orang-orang kafir di hari yang besar itu. Al-Qur’an mengatakan, “Dan peringatkanlah mereka akan hari yang dekat (azifah), di mana saat itu hati (jantung) menyesak ke tenggorokan karena menahan perasaan. Tidak ada seorang pun sahabat karib dan penolong yang diterima pertolongannya bagi orang-orang yang lalim,” (QS. Ghafir: 18).

Azifah, hari yang dekat dan segera datang, ialah hari kiamat. Kata itu menggambarkan seakan-akan kiamat itu mendekat. Karena itu, nafas menjadi susah dan terengah-engah, seakan-akan hati yang ditimpa kesusahan itu menghimpit tenggorokan. Mereka menahan nafas, rasa sakit, dan rasa takut. Menahan itu semua menyakitkan dan menyesakkan dada. Mereka tidak mendapati teman akrab yang menyayangi mereka dan tidak juga penolong yang kata-katanya dapat ditaati dalam keadaan yang sulit dan susah ini.

6. Karena mereka berdosa, congkak kepada Pencipta mereka, sombong terhadap hamba-hamba-Nya serta tidak mau taat kepada-Nya, maka mereka dihadapkan kepada Tuhan Pencipta mereka dalam keadaan diikat, memakai pakain ter, dan wajah yang diselubungi api. Betapa mengerikan keadaan mereka dan alangkah berat yang mereka alami. “Hari di mana bumi diganti dengan bumi lain dan langit (begitu) juga, dan mereka keluar menghadap Allah Yang Maha Esa dan Maha Perkasa. Pada hari itu kamu lihat orang-orang yang berdosa dikat bersama-sama dengan belenggu. Pakaian mereka terbuat dari ter dan wajah mereka diselubungi api,” (QS. Ibrahim: 48-50).

Ath-Thabari, dalam menafsirkan ayat ini, mengatakan, “Kamu lihat orang-orang yang kafir kepada Allah dan melakukan dosa syirik di dunia pada hari itu, yaitu hari dimana bumi diganti dengan bumi lain dan (begitu) juga langit. “Diikat dengan belenggu...” (QS. Ibrahim: 49) maksudnya adalah tangan dan kaki mereka diikat di leher mereka dengan belenggu, yaitu pengikat dari rantai besi.”


7. Pada hari itu matahari berada dekat dengan kepala para hamba sehingga jarak antara matahari dan mereka hanya satu mil. Seandainya mereka bukan makhluk yang tidak dapat mati lagi, mereka akan meleleh, mencair, berasap, dan mati, tetapi saat itu mereka tidak dapat mati.

Keringat mereka bercucuran ke tanah, kemudian menggenangi mereka sesuai dengan tingkatan mereka masing-masing. Dalam shahih Muslim diriwayatkan dari al-Miqdad ibn al-Aswad, yang mendengar Rasulullah s.a.w bersabda, “Pada hari kiamat, matahari berada dekat dengan makhluk, dengan jarak hanya satu mil.” (Salim ibn Amir mengatakan, “Demi Allah saya tidak tahu apa yang dimaksud dengan mil itu, apakah hitungan jarak atau alat pencelak mata.”) “Maka manusia berada dalam genangan keringat menurut kadar amal mereka. Di antara mereka ada yang keringatnya sampai mata kaki, ada yang sampai lutut, ada yang sampai pinggangnya dan ada yang terkekang oleh keringatnya”- Rasulullah s.a.w memberi isyarat dengan menunjuk ke mulut.”
Dalam shahih al-Bukhari dan shahih Muslim diriwayatkan dari Ibn ‘Umar r.a dari Nabi s.a.w, “Pada hari manusia berdiri menghadap Tuhan alam semesta,” beliau bersabda, “Salah seorang di antara mereka berdiri dengan genangan keringat mencapai kedua telinganya.”

Dalam shahih al-Bukhari dan shahih Muslim diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a bahwasanya Rasulullah s.a.w telah bersabda, “Pada hari kiamat manusia berkeringat sampai keringat mereka mengucur ke tanah seluas tujuh puluh hasta dan merendam mereka hingga mencapai telinga.”

8. Tatkala orang-orang kafir melihat siksaan dan kehinaan yang diperuntukkan bagi mereka, mereka dilanda penyesalan. Karena besarnya penyesalan akan azab itu, Allah menamai hari itu dengan “Hari Penyesalan.” “Dan peringatkanlah mereka akan ‘Hari Penyesalan,’ di mana segala persoalan diputuskan, sedang mereka dalam kelalaian dan mereka tidak beriman,” (QS. Maryam: 39).

Karena begitu besarnya penyesalan orang kafir atas pembangkangannya terhadap rasul yang diutus kepadanya atas perbuatannya mengikuti musuh-musuh para rasul, ia menggigit tangannya. “Dan pada hari di mana orang lalim menggigit tangannya seraya berkata, ‘Oh, andai saja aku dahulu mengikuti jalan bersama rasul. Alangkah malangnya aku, andai saja aku dahulu tidak menjadikan si anu teman akrabku. Ia telah menyesatkanku dari peringatan setelah peringatan itu datang kepadaku.’ Dan setan itu bukan penolong manusia,” (QS. al-Furqon: 27-29).

9. Pada hari itu orang-orang kafir yakin bahwa dosa mereka tidak terampuni dan permintaan maaf mereka tidak diterima, sehingga mereka putus asa akan rahmat Allah. “Pada hari kiamat, orang-orang yang berdosa berputus asa,” (QS. ar-Rum: 12).

10. Orang-orang kafir pada hari itu berangan-angan agar Allah membinasakan mereka dan menjadikan mereka tanah. “Pada hari itu orang-orang kafir dan durhaka kepada Rasul berkeinginan agar mereka disamaratakan dengan tanah,” (QS. an-Nisa: 42). “Orang kafir berkata, ‘Andai saja aku jadi tanah’,” (QS. an-Naba: 40). Bagaimana menurutmu keadaan orang yang berangan-angan sampai sedemikian jauh?! [Disadur dari: Ensiklopedia Kiamat/ Karya: Dr. Umar Sulayman al-Asykar/Penerbit: Serambi]